Mengunjungi Museum Multatuli

Djohan Rady
3 min readJan 18, 2024

--

“The very ink with which history is written is merely fluid prejudice.” — Mark Twain

Keputusan membaca ulang Max Havelaar mendorong saya untuk mengunjungi Museum Multatuli di Rangkasbitung. Perjalanannya cukup jauh karena saya berangkat dari Kota Bekasi. Dari Stasiun Kranji, saya harus transit di Stasiun Tanah Abang untuk pindah kereta tujuan Rangkasbitung. Waktu perjalanannya kurang lebih dua jam.

Sampai di Stasiun Rangkasbitung, pilihan paling praktis adalah memesan GoRide untuk langsung sampai di pintu gerbang Museum Multatuli. Lokasinya berada di salah satu area paling rapi dan bersih di Rangkasbitung, dekat alun-alun dan beberapa kantor pemerintah daerah. Suasananya nyaman, bersih, dan teduh. Ada beberapa pedagang kaki lima menjajakan bakso, cireng, dan minuman dingin di depan gerbang museum.

Melangkah masuk, kita akan disambut oleh pendopo dan taman luas yang banyak dipakai pengunjung untuk duduk-duduk, bahkan tiduran. Saya membayangkan pendopo ini mirip dengan pendopo tempat Max Havelaar melakukan sumpah jabatan Asisten Residen Lebak seperti dalam novel. Agak ke dalam, kita akan menemukan meja resepsionis untuk membeli tiket masuk museum seharga Rp 2000 (Iya, tidak salah, cuma dua ribu. Seharga buang air di toilet umum dan tarif parkir liar di AlfaMart. Murah, ‘kan?).

Sayangnya, ketika saya datang tengah hari, meja resepsionis tersebut kosong karena staf museum sedang istirahat. Sekira pukul satu siang museum buka kembali.

Museum Multatuli Rangkasbitung termasuk kecil. Luas bangunannya mungkin kurang dari 90 m2 (tidak termasuk pendopo dan taman luas yang saya sebut barusan) dan hanya terdiri dari kurang lebih enam ruangan pameran koleksi. Ruangan museum ditata dengan modern, lengkap dengan pencahayaan yang hangat dan mesin penyejuk udara.

Orang-orang yang datang untuk mengenal sosok Multatuli, seperti saya, akan kecewa.

Museum Multatuli Rangkasbitung sebetulnya lebih cocok disebut Museum Sejarah Kolonialisme karena isinya lebih banyak menceritakan sejarah kolonialisme Belanda daripada sosok Multatuli itu sendiri. Tentu ada beberapa koleksi yang berkaitan dengan Multatuli, seperti penjelasan teks tentang biografi Multatuli, beberapa koleksi buku Max Havelaar berbagai edisi (ada terjemahan Perancis edisi pertama tahun 1876 yang langka), foto-foto, patung bust, dan video dokumenter. Selebihnya, museum ini lebih banyak bercerita tentang sejarah kolonialisme secara umum: kedatangan Belanda pertama kali, informasi tentang rempah-rempah, kisah pemberontakan rakyat Banten, catatan pergerakan nasional, dan sejarah administrasi wilayah Banten. (Di suatu sudut museum kita bahkan disajikan informasi mengenai orang tua musisi rock Eddie dan Alex Van Halen yang ternyata berasal dari Rangkasbitung).

Ini sungguh jauh dari harapan. Saya mengira akan melihat data-data historis yang menarik tentang pribadi Multatuli, sang penulis. Tapi tampaknya bagi pengelola museum jauh lebih menarik menyajikan informasi usang mengenai kolonialisme yang sebetulnya bisa kita dapatkan dengan mudah di buku sekolah atau Wikipedia. Sungguh museum yang mubazir.

Setelah selesai menjelajahi isi museum, kekecewaan saya agak berkurang melihat warga lokal yang sedang bersantai dan bermain di area pendopo dan taman. Anak-anak berlarian sementara orang tua mereka menikmati semangkuk bakso. Di sebelah utara, sekelompok remaja berlatih tarian tradisional di area teras perpustakaan. Beberapa remaja lain sibuk berselfie mengabadikan momen liburan akhir pekan bersama teman dan keluarga.

Terlepas apa pun opini saya terhadap Museum Multatuli, tampaknya banyak warga lokal yang menikmati kehadiran museum ini sebagai ruang rekreasi yang murah dan menyenangkan. Itu jauh lebih penting.

Di masa depan, jika anak-anak remaja itu selesai membaca Max Havelaar dan tertarik dengan sosok Multatuli, semoga mereka berkesempatan mengunjungi Museum Multatuli di Belanda di mana koleksinya lebih lengkap dan menarik. Saya aminkan doa ini untuk mereka dan saya sendiri.

--

--

Djohan Rady
Djohan Rady

Written by Djohan Rady

I have a Master's degree in Philosophy. So, yeah, mostly I don't know what I'm talking about.

No responses yet